Minggu, 20 Januari 2008

Pemikiran Yang Muluk-muluk

Mereka mengobati luka umat-Ku dengan memandangnya ringan, katanya: Damai sejahtera! Damai sejahtera!, tetapi tidak ada damai sejahtera.
Yeremia 6:14




Di pulau Wake Island, tahun 1950, Presiden Truman berkata kepada Jenderal Douglas MacArthur, "Saya ingin tiga kata sebagai epitafku (tulisan di batu nisan) - 'ia membawa damai.'" Tentu saja ini merupakan ambisi yang pantas dan mulia, namun betapa mengecewakan dan sulit dipahami pengharapan itu! Karena pada zaman truman, Amerika terlibat dalam dua tindakan militer yang besar, yakni perang Korea dan perang Vietnam, belum lagi sejumlah perang-perang kecil. Keinginan untuk memperoleh damai memang sangat terpuji, tetapi itu hanyalah pemikiran yang muluk-muluk.

Para pemimpin Israel juga mempunyai pengharapan yang tinggi akan damai sejahtera. para Nabi dan Imam mengumandangkan bahwa Allah akan membuat mereka nyaman (Yermia 28:2). Israel tidak akan terlibat dalam konflik di sekitar mereka. Metreka tidak akan jatuh ke dalam tangan pasukan Babel yang sedang maju. Namun, itu adalah pemikiran yang muluk-muluk. Menjelang tahun 605 S.M, Babel menduduki Yehuda dan pada tahun 586 S.M, pasukan Nebukadnezar mengepung dan meruntuhkan Yerusalem (39:1-10). Banyak orang Israel di bawa ke dalam pembuangan dan harapan mereka akan damai sejahtera yang digembor-gemborkan dengan pernyataan yang salah dari pemimpin mereka ternyata hanyalah pemikiran yang muluk-muluk.

Allah menawarkan damai sejahtera yang lebih dari pemikiran yang muluk-muluk - sebuah kenyataan pasti. Bukan sebuah perdamaian dengan pihak musuh, tapi sebuah perjanjian damai antara Allah dan kita. Ketika kita menerima Yesus Kristus sebagai Juru Selamat kita, permusuhan antara Allah dan kita ditiadakan. "Sebab itu, kita yang dibenarkan karena iman, kita hidup dalam damai sejahtera dengan Allah oleh karena Tuhan kita, Yesus Kristus," (Roma 5:1). (JH)




Bagaimanapun keadaannya, perdamaian kita dengan Allah tidak pernah berubah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar